Wednesday, December 3, 2008

RTRW Sumut Dipertanyakan

Medan, (Analisa) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), termasuk Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) sampai saat ini belum mencerminkan keberpihakan pada upaya perlindungan dan pelestarian alam dan habitat yang dimilikinya.

Secara umum status penataan ruang kawasan hutan di tiga kabupaten terkait KBHT masih berpedoman pada penatagunaan kawasan yang tertuang dalam SK Menteri Kehutanan No.44/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumut, yang bersumber dari RTRWP Sumatera Utara.

Dimana dalam perancangannya sangat tidak akomodatif dan cenderung sepihak, mengabaikan status kawasan hutan terdahulu serta merugikan kepentingan banyak pihak.

Hal ini diungkapkan Riswan dari Yayasan Ekosistem Lestari pada diskusi finishing revisi Undang Undang No.44/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumatera Utara di Medan belum lama ini.

Dikatakan, di samping kemauan pemerintah yang belum memadai, minimnya informasi terbaru mengenai keanekaragaman di sebuah kawasan hutan diyakini menjadi penyebab kurangnya akurasi dalam penetapan kebijakan spasial pada RTRWP) ataupun kabupaten serta penunjukan fungsi kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan.

Padahal ketiga kebijaksanaan tersebut sangatlah penting untuk menjadi landasan dalam pembangunan ekonomi regional dan pemanfaatkan sebuah kawasan hutan.

Menurut Riswan, bila melihat sejarah perkembangan kawasan hutan di Sumut, maka status kawasan yang terdapat dalam penunjukan kawasan hutan (SK No.44/2005) dan RTRWP Sumut (Perda No.7/2003), sesungguhnya sudah bisa didasarkan pada rencana penetapan dan pengukuhan kawasan hutan yang tertuang dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provisi Sumut yang diterbitkan tahun 1982.

Sebagai contoh, awalnya KHBT diberikan status hutan lindung (hijau tua) dan hutan produksi terbatas (HPT), tetapi pada RTRWP dan Penunjukkan Kawasan Hutan telah berubah fungsi menjadi hutan produksi dan hutan produksi tetap.

Pemukiman

Sementara itu, di kawasan ini pula terdapat pemukiman-pemukiman tua dimana masyarakat sudah lama hidup dan beraktifitas, namun lahan atau kampungnya berstatus kawasan hutan. Akibatnya, muncullah konflik tas pemakaian lahan.

Jadi kesimpulannya, ungkap Riswan, yang terdapat dan tertera dalam penunjukan kawasan ini belumlah berkeadilan, baik dari segi pendukung sistem kehidupan maupun dari segi sosial ekonomi dan budaya.

Dari segi luasan kawasan hutan, tambahnya, antara RTRWP dan SK Menhut No.44/2005 juga tidak singkron. SK Menhut No.44/2005 menyebutkan luas hutan Sumut mencapai 3.742/120 hektar, sedangkan Perda Sumut No.7/2003 tentang RTRWP hanya 3.679.338 hektar. Padahal Perda itulah yang menjadi dasar keluargnya SK Menhut.

Belum lagi terbitnya SK Menhut No.201/Menhut-II/2006 yang mevisi SK No.44/2005 menyebutkan, kawasan hutan di Sumut telah berubah menjadi bukan kawasan hutan seluas 1.109.067 hektar, sementara kawasan bukan hutan yang berubah menjadi kawasan hutan seluas 336.395 hektar. Sehingga berdasarkan SK Menhut No.201/2006 itu kawasan hutan di Sumut tinggal hanya 2.969.448 hektar.

Penunjukan atau penetapan status suatu kawasan memang akan selalu menimbulkan banyak konflik, karena itu revisi SK Menhut No.44/2005 maupun perubahannya yang tertuang dalam SK Menhut No. 201/2006 mutlak diperlukan agar tercipta rasionalisasi kawasan hutan yang pro lingkungan hidup dan berkeadilan bagi rakyat, ujar Riswan. (rama)

Sumber: http://www.analisadaily.com/

No comments: