Tuesday, December 16, 2008

Reading v.s. Waching Society

Buku Jendela Dunia,
Oleh : M.E. Sudrajat

(Analisa). Kejahatan terbesar bukanlah membakar buku melainkan tidak membaca buku.
Apabila kita cermati kutipan tersebut, terkesan ekstrem, kutipan ini merupakan ucapan Joseph Brodkey pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra pada 1987.
Tulisan ini merupakan apresiasi terhadap pelaksanaan Pesta Buku Sumatera Utara 2008 di Medan, diikuti 45 stand dan menampilkan 50 ribu judul buku dengan 900 penerbit. Selama tiga hari tersebut pengunjung setiap hari mencapai hampir 1000 - 2000 orang (Analisa, 7-12-08). Kita berharap ajang Pesta Buku Sumatera Utara ini lebih ditingkatkan lagi dan masuk dalam Kalender Pemda Sumut dalam rangka membangun Sumber Daya Manusia (SDM).

Sikap pro aktip pemerintah (Pemda), dalam aksi ini sangat diharapkan, mengingat Otonomi Daerah merupakan kebijakan pemerintah pusat yang diberikan agar Pemda turut bertanggung jawab dalam pendidikan nasional. Keberhasilan negara-negara maju merupakan akumulasi dari pemerintah lokal (provinsi/pemda), yang sangat peduli dengan pendidikan.
Negara-negara maju meyakini bahwa buku merupakan kunci kecerdasan bangsa. Sehingga tidak heran langkah Jepang sejak tahun 1960-an mengambil langkah menerjemahkan buku-buku berbahasa asing sebanyak rata-rata lebih dari 21.000 judul setiap tahunnya. Angka tersebut pada saat itu jauh mengalahkan industri penerbitan di Amerika Serikat, dan menduduki peringkat keempat di dunia setelah Rusia, Inggris dan Jerman. Upaya pemerintah Jepang untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa asing terutama buku ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterbitkan Barat. Karena orang Jepang berbudaya homogen dan berbicara hanya dengan bahasa Jepang.

Hasil kerja keras pemerintah Jepang ini tidak sia-sia dan terbukti kurang dari 25 tahun Jepang mendapat apresiasi dan prestige sekaligus juga prestisius nomor Wahid dalam perekonomian dunia, bahkan masyarakat internasional menyebutnya binatang ekonomi. Hal ini merupakan keajaiban dari hasil kerja keras bangsa Jepang setelah hancur berantakan (luluh lantak) akibat Perang Dunia II. Selanjutnya Jepang terus meningkatkan penerbitan tidak kurang dari 44.000 judul buku setiap tahunnya. Sementara Inggris 61.000 judul buku, Amerika Serikat 100.000 judul buku setiap tahun. Sedangkan Australia 7.500 judul buku dan Belanda 13.000 judul buku pertahun. Data ini tidak tertutup kemungkinan akan terus meningkatkan seiring program pemerintah yang bersangkutan.

Dari fakta ini banyak hal yang dapat kita petik dimana apabila kita kilas balik ke sejarah tentang Jepang, tahun 1945 mereka hancur lebur karena sikap arogansi militernya berdampak pada hancurnya bangsa Jepang. Sementara Indonesia dalam tahun yang sama dengan keberanian yang luar biasa melakukan Proklamasi Kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat penuh namun hingga kini jauh tertinggal dibanding Jepang. Dalam sistim pendidikan nasional pun kita terkesan masih coba dan salah (trial and error), dan hingga saat ini pun bisa terlihat dalam Ujian Nasional yang menimbulkan kontroversi antara orang tua murid, guru dan Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional. Demikian pula dalam hal pengadaan buku pelajaran yang saat ini menjadi beban baik pihak sekolah maupun orang tua murid.

Program Pemerintah

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berupaya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menyiapkan dan membangun SDM tersebut. Program pun dirancang sedemikian hingga seperti setiap memasuki bulan Mei untuk memperingati hari Pendidikan Nasional dan menjadikan sebagai “Bulan Buku Nasional”. Sementara untuk bulan September pemerintah menetapkan “Bulan Gemar Membaca”. Sementara upaya penerbitan buku-buku belum mampu mengimbangi kebijakan pemerintah tersebut, diperkirakan Indonesia belum mampu menerbitkan buku sesuai target dan publik pun belum mengetahui secara pasti jumlahnya setiap tahun. Selain itu, Indonesia masih masuk kategori negara yang belum bebas buta aksara.

Menurut Depdiknas, jumlah penduduk buta aksara saat ini mencapai 10,1 juta. Dengan jumlah penduduk 220 juta, persentase penduduk buta aksara tinggal 4,59 persen. Target 2009 tinggal 7,7 juta buta aksara akan tercapai. Akan tetapi tidak jelas adakah jaminan bagi mereka yang dinyatakan melek aksara tidak kembali buta sebab faktor kemiskinan dan sarana pendidikan, seperti diakui Depdiknas (Kompas, 5/9.08). Menjadi kendala utama pemberantasan buta aksara.

Mengacu data Human Development Report 2007, angka buta aksara penduduk Indonesia sebesar 12,1 persen artinya 1 dari 8 orang masih buta aksara. Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Fhilipina yang rata-rata 7 persen dan Brunai Darussalam sebesar 6 persen, Indonesia masih di atas 10 persen. Hari Aksara internasional 8 September, kita pakai untuk mengingatkan masih adanya tantangan besar dalam pemenuhan hak dasar hidup, salah satu hak asasi manusia (HAM).

Untuk pemberantasan buta aksara (buta hurup), dilakukan lebih sistematis sejak 1970-an lewat program Paket A atau setingkat SD. Dikembangkan program Paket B untuk setingkat SMP dan Paket C untuk setingkat SMA. Paket C ini dipakai sebagai jalan keluar bagi mereka yang tidak lulus ujian nasional dengan nama ujian kesetaraan. Buta aksara memberikan kontribusi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Angka Buta Aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI, sepertiganya lama masa pendidikan lainnya komponen kesehatan dan ekonomi. Peringkat HDI Indonesia ke-3 pada 2004, diharapkan meningkat menjadi ke-91 pada 2009. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan pada 2009 sekitar 95 persen penduduk Indonesia melek aksara, Artinya, setiap tahun ada sekitar 1,5 juta orang terbebas dari kondisi buta aksara.

Tantangan Indonesia ke Depan

Perkembangan multimedia dan budaya menonton yang tinggi di kalangan masyarakat Indonesia, dan menjadi bagian dari kita, merupakan tantangan yang harus dijawab. Kondisi ini memunculkan fenomena menyusutnya fenomena budaya baca. Jumlah penerbit bertambah dan jumlah toko buku bertambah, tetapi disisi lain budaya baca harus diterus dipicu dan dipacu. Karena budaya baca yang masih rendah sehingga human development index memasukkan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara. Untuk itulah membaca dan budaya membaca harus dikembangkan terus. (Kompas, 21/9/08).

Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini sama halnya yang dihadapi Inggris sekitar tahun 1970-an, ketika media elektronika semakin gencarnya menawarkan fasilitas hiburan yang menghanyutkan manusia. Pada saat itu sebagai contoh masyarakat Inggris lebih banyak menggunakan waktunya di depan TV daripada membaca.

Pengaruh media elektronik saat ini tidak bisa dihindarkan seperti layar gelas (kaca) punya korelasi negatif terhadap waktu membaca. Makin tinggi intensitas menonton TV, makin minim kesempatan untuk membaca. Persoalan ini juga dihadapi negara-negara maju namun mereka tampaknya masih bisa menyempatkan waktu untuk membaca, sebagai gambaran setiap buku Harry Potter edisi baru diterbitkan pembaca harus sabar mengantri di toko-toko buku untuk memilikinya. Kita berharap Pemda Sumut dari tingkat I hingga tingkat II banyak memberikan peluang untuk mengembangkan budaya baca masyarakat, barangkali pendekatan Mobil Perpustakaan ditingkatkan, Pameran Buku dijadikan ajang sebagai Wisata Buku untuk mengimbangi Wisata Kuliner yang sat ini gencar dipromosikan. Atau melakukan terobosan seperti memberikan penghargaan baik keluarga maupun perorangan yang teladan yang banyak melakukan aktivitas membaca. Selain itu meningkatkan kerja sama dengan para penerbit dan mass media baik elektronik maupun cetak, dalam rangka membangun SDM Sumut yang berkualitas dan profesional.

Mencermati hal tersebut di atas kita sebagai bangsa Indonesia tetap harus bangga dan optimis akan upaya pemerintah membentuk masyarakat pembaca (reading society) bukan lagi mayoritas sebagai masyarakat pendengar atau penonton (listening/waching society). Sehingga kita mampu membangun SDM yang berkualitas yang memiliki modal kecerdasarn intelektual (IQ), Modal kecerdasan emosional (EQ) seta modal kecerdasan spiritual (SQ).***

Penulis adalah Staf Kosek Hanudnas III Medan

Sumber: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1040:buku-jendela-dunia&catid=78:umum&Itemid=131

Wednesday, December 3, 2008

RTRW Sumut Dipertanyakan

Medan, (Analisa) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), termasuk Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) sampai saat ini belum mencerminkan keberpihakan pada upaya perlindungan dan pelestarian alam dan habitat yang dimilikinya.

Secara umum status penataan ruang kawasan hutan di tiga kabupaten terkait KBHT masih berpedoman pada penatagunaan kawasan yang tertuang dalam SK Menteri Kehutanan No.44/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumut, yang bersumber dari RTRWP Sumatera Utara.

Dimana dalam perancangannya sangat tidak akomodatif dan cenderung sepihak, mengabaikan status kawasan hutan terdahulu serta merugikan kepentingan banyak pihak.

Hal ini diungkapkan Riswan dari Yayasan Ekosistem Lestari pada diskusi finishing revisi Undang Undang No.44/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Sumatera Utara di Medan belum lama ini.

Dikatakan, di samping kemauan pemerintah yang belum memadai, minimnya informasi terbaru mengenai keanekaragaman di sebuah kawasan hutan diyakini menjadi penyebab kurangnya akurasi dalam penetapan kebijakan spasial pada RTRWP) ataupun kabupaten serta penunjukan fungsi kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan.

Padahal ketiga kebijaksanaan tersebut sangatlah penting untuk menjadi landasan dalam pembangunan ekonomi regional dan pemanfaatkan sebuah kawasan hutan.

Menurut Riswan, bila melihat sejarah perkembangan kawasan hutan di Sumut, maka status kawasan yang terdapat dalam penunjukan kawasan hutan (SK No.44/2005) dan RTRWP Sumut (Perda No.7/2003), sesungguhnya sudah bisa didasarkan pada rencana penetapan dan pengukuhan kawasan hutan yang tertuang dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provisi Sumut yang diterbitkan tahun 1982.

Sebagai contoh, awalnya KHBT diberikan status hutan lindung (hijau tua) dan hutan produksi terbatas (HPT), tetapi pada RTRWP dan Penunjukkan Kawasan Hutan telah berubah fungsi menjadi hutan produksi dan hutan produksi tetap.

Pemukiman

Sementara itu, di kawasan ini pula terdapat pemukiman-pemukiman tua dimana masyarakat sudah lama hidup dan beraktifitas, namun lahan atau kampungnya berstatus kawasan hutan. Akibatnya, muncullah konflik tas pemakaian lahan.

Jadi kesimpulannya, ungkap Riswan, yang terdapat dan tertera dalam penunjukan kawasan ini belumlah berkeadilan, baik dari segi pendukung sistem kehidupan maupun dari segi sosial ekonomi dan budaya.

Dari segi luasan kawasan hutan, tambahnya, antara RTRWP dan SK Menhut No.44/2005 juga tidak singkron. SK Menhut No.44/2005 menyebutkan luas hutan Sumut mencapai 3.742/120 hektar, sedangkan Perda Sumut No.7/2003 tentang RTRWP hanya 3.679.338 hektar. Padahal Perda itulah yang menjadi dasar keluargnya SK Menhut.

Belum lagi terbitnya SK Menhut No.201/Menhut-II/2006 yang mevisi SK No.44/2005 menyebutkan, kawasan hutan di Sumut telah berubah menjadi bukan kawasan hutan seluas 1.109.067 hektar, sementara kawasan bukan hutan yang berubah menjadi kawasan hutan seluas 336.395 hektar. Sehingga berdasarkan SK Menhut No.201/2006 itu kawasan hutan di Sumut tinggal hanya 2.969.448 hektar.

Penunjukan atau penetapan status suatu kawasan memang akan selalu menimbulkan banyak konflik, karena itu revisi SK Menhut No.44/2005 maupun perubahannya yang tertuang dalam SK Menhut No. 201/2006 mutlak diperlukan agar tercipta rasionalisasi kawasan hutan yang pro lingkungan hidup dan berkeadilan bagi rakyat, ujar Riswan. (rama)

Sumber: http://www.analisadaily.com/